Amil yang Meaningful
August 10, 2020 2023-03-31 0:03Amil yang Meaningful
Amil yang Meaningful
oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi)
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)
Apa sesungguhnya makna hidup bagi seorang manusia? Pertanyaan sederhana ini memiliki jawaban yang mendalam dan penuh perenungan. Manusia hidup semakin tak lama, deraan penyakit dan kualitas lingkungan yang kian memburuk semakin memperpendek umur manusia. Walaupun begitu, keinginan hidup bahagia tetaplah abadi di benak manusia, tak terkecuali kehidupan para amil zakat saat ini.
Adapun bentuk kebahagiaan sendiri menurut Martin Seligman, dalam bukunya Authentic Happiness, secara umum ada 3 macam yaitu: hidup yang penuh kesenangan (pleasant life), hidup yang nyaman (good life), dan hidup yang bermakna (meaningful life).
Makna hidup yang penuh kesenangan, yaitu kondisi kehidupan dimana pencarian kesenangan hidup, kepuasan nafsu, keinginan dan berbagai bentuk kesenangan lainnya, menjadi tujuan hidup manusia. Hidup yang menyenangkan ialah ketika sebanyak mungkin kesenangan hidup telah dimiliki.
Sedangkan hidup yang nyaman, yaitu kehidupan, dimana segala keperluan kehidupan manusia telah terpenuhi. Terpenuhinya semua keperluan hidup secara jasmani, rohani dan sosial. Hidup yang aman, tentram, damai.
Sedangkan hidup yang bermakna, lebih tinggi lagi dari tingkat kehidupan yang nyaman. Selain segala keperluan hidupnya telah terpenuhi, ia menjalani hidup ini dengan penuh pemahaman tentang makna dan tujuan kehidupan. Selain untuk diri dan keluarganya, ia juga memberikan kebaikan bagi orang lain dan lingkungan sekitar.
Rasa kebahagiaan yang timbul ketika banyak orang lain mendapatkan kebahagiaan karena usaha kita. Pleasure in giving, kebahagiaan dalam berbagi, salah satu istilahnya. Perasaannya dipenuhi dengan rasa nyaman dan bahagia.
Makna Kebahagiaan Bagi Amil
Kehidupan amil sejatinya penuh warna. Kadang, tak mulus dan beragam masalah menerpa. Walau begitu, tetap saja seorang amil kehidupannya penuh makna. Dibalik kelemahan yang tampak dalam kehidupan para amil, ternyata ada ketegaran yang sama dalam menjalani kehidupan mereka.
Kehidupan amil di tengah dinamika lembaganya masing-masing adalah kehidupan yang tak sekedar hidup. Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Kata Buya Hamka: “Kalau manusia hidup cuma sekadar hidup, babi pun bisa melakukannya. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.”
Ungkapan Buya Hamka yang dalam tadi, memberikan gambaran bahwa antara manusia dengan binatang tentu saja memiliki derajat yang berbeda. Walau sama-sama makhluk ciptaan Tuhan. Bedanya manusia memang makhluk yang istimewa karena dikarunia akal sehat dan kearifan. Manusia tak hanya dibekali insting layaknya binatang. Dalam kehidupan manusia, juga amil zakat di dalamnya, tak hanya hidup untuk makan, tidur dan berkembangbiak, toh binatang pun bisa melakukannya juga. Harus ada makna dan nilai lebih yang dimiliki seorang manusia dalam hidupnya.
Lalu, apa makna kehidupan bagi seorang amil zakat?. Dalam aspek psikologi, kehidupan yang bermakna (meaningfull life) adalah gagasan yang berkaitan dengan tujuan, makna, pemenuhan, dan kepuasan hidup. Bila seorang manusia mampu menemukan makna sejati dalam kehidupannya, ternyata amat besar manfaatnya bagi masa depannya. Orang-orang yang pada akhirnya mampu memiliki makna dalam kehidupannya, umumnya ditemukan lebih bahagia, memiliki tingkat emosi negatif yang lebih rendah, dan memiliki risiko lebih rendah terkena penyakit mental. Luar biasa bukan?.
Para amil adalah jenis manusia yang hidupnya hampir serupa dengan para da’i. Mereka rela berkorban dan bahkan biasa mendahulukan kebahagiaan hidupnya bagi orang lain. Bisa jadi memang setiap amil zakat berbeda proses dan waktunya, namun ujungnya ternyata tak jauh berbeda.
Seorang amil zakat, begitu lahir ke dunia dan lalu berproses menjadi dewasa bisa jadi tak bercita-cita jadi seorang amil. Namun begitu takdir mempertemukannya dengan amil sebagai profesi hidupnya, maka, mau tidak mau ia harus memaknai dengan baik kehidupan amil ini. Termasuk menyiapkan diri untuk menerima dengan ikhlas kehidupan barunya sebagai amil zakat. Dengan keikhlasan, insyaallah dadanya akan lapang dan mudah menerima beragam dinamika, termasuk apapun gejolak yang muncul serta godaan yang mengajak meninggalkan dunia amil.
Seseorang yang baru masuk dunia amil zakat, layaknya sebuah handphone baru. Begitu keluar dari dusnya, dan dinyalakan ia akan mencari sinyal. Ketika sinyal berhasil ditemukan, barulah handphone itu bisa disebut berfungsi dengan baik. Ia akan langsung mencari koneksi dengan handphone atau perangkat lainnya untuk berkomunikasi dan menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Begitupun kehidupan seorang amil, ia harus menemukan amil zakat lainnya dan barulah ia akan memiliki fungsi yang sempurna.
Sebelum terkoneksi dengan amil yang lain, ia akan tak berdaya, bahkan dianggap berbeda dengan kehidupan manusia lainnya. Yang mampu menerima dan memahami makna hidup seorang amil, tentu saja adalah mereka yang hidup dan beraktivitas di dunia yang sama, yakni gerakan zakat Indonesia. Makna kehidupan apa yang seharusnya dicari seorang amil, akan langsung terasa dan mewujud nyata bila seseorang melihatnya langsung ditengah kehidupan para amil. Mereka, para amil, sejatinya juga dengan mimpi-mimpi layaknya manusia biasa, namun yang luar biasa, mimpi-mimpi mereka adalah lebih untuk memuliakan sesama.
Menuju Makna Hidup Amil
Menurut Bastaman (1996), terdapat 6 komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam mengubah hidup dari penghayatan hidup tidak bermakna yaitu: pemahaman diri (self insight), makna hidup (meaning of life), pengubahan sikap (changing attitude), keikatan diri (self commitment), kegiatan terarah (directed activities), dan dukungan sosial (social support).
Walau penjelasan masing-masing komponen tadi relatif panjang, dibawah ini akan coba saya uraikan lebih simpel sekaligus dalam konteks yang relevan untuk kita semua para amil di negeri ini.
Pertama, Pemahaman diri (self insight). Makna pemahaman menurut Bastaman adalah meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. Bagi para amil, makna pemahaman diri ini lebih pada keyakinan yang kuat dan mengakar berbasis akidah Islam yang lurus.
Para amil punya keyakinan kuat hidupnya akan dijamin Sang Pemilik Hidup selama ia berada dalam track yang benar sebagai amil sejati. Para amil sangat percaya akan adanya hari pembalasan, bahkan sebelum hari itu terjadi, mereka memahami bahwa kebaikan akan selalu berbuah kebaikan. Ayat ini setidaknya menginspirasi para amil setiap saat. “Jika kalian berbuat baik, sesungguhnya kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri” (QS. Al-Isra:7).
Mereka juga percaya bahwa seorang amil haruslah mampu memberi kemanfaatan bagi orang lain. Dalam hidup, ada yang disebut “Lingkaran Kebaikan”. Yakni sebuah gambaran yang bermakna bahwa setiap orang yang mampu memberikan manfaat kepada orang lain, maka manfaat sesungguhnya akan kembali untuk kebaikan diri kita sendiri.
Hal ini sebagaimana Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barangsiapa membantu keperluan saudaranya, maka Allah akan membantu keperluannya.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam riwayat lain digambarkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa yang memudah kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulitan, niscaya akan Allah memudahkan baginya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).
Kedua, Makna hidup (meaning of life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah-pengarah kegiatannya. Bagi amil, setelah keyakinannya lurus, ia juga harus hidup selayaknya seorang amil. Bukan hidup pada umumnya orang lain yang seolah hanya mengejar mimpi-mimpi di dunia belaka. Mimpi akan kesenangan hidup dan bebas dari beban untuk mengurus orang lain, apalagi mereka yang papa dan dhuafa. Bila itu terjadi, manusia hanya bagaikan rumput yang tumbuh di pagi hari dan kemudian mati kering di sore hari. Hidupnya bisa panjang, namun seakan uap di udara yang sebentar saja hilang.
Untuk bisa menguatkan makna hidupnya, seorang amil harus ikhlas, karena ikhlas adalah salah satu kunci penyempurnaan makna kehidupan manusia. Dengan ilkhlas pula, semoga seluruh amalan kita sebagai ssorang amil akan diterima Allah SWT dan diberikan balasan setimpal, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Ketiga, Pengubahan sikap (changing attitude), dari yang semula tidak tepat menjadi tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak dapat terelakkan. Makna meaningful life bukan ungkapan kosong semata. Ia adalah sebuah panduan tekad untuk diikuti tindakan nyata dan penuh kesungguhan. Hidup dengan pemaknaan untuk hidup sejati adalah hidup yang berarti untuk orang lain.
Para amil, senantiasa memiliki jiwa pemberi. Susah atau senang, sempit atau lapang, merasa bahagia atau tidak bahagia dalam hidupnya, ia tetap harus melayani dan siap berbagi dengan orang lain. Justru, dalam kesibukan, kelelahan dan padatnya aktivitas seorang amil, ia bisa menemukan kebahagian hidup ketika ia memberi dan berbagi pada sesama.
Air mata kebahagiaanya, bukan lagi milik diri dan keluarganya saja, namun telah pula terbagi. Para amil akan bahagia hidupnya ketika melihat para dhuafa berbahagia, sebaliknya, ia akan berduka manakala melihat orang-orang kecil, wong cilik, orang-orang fakir dan miskin menderita. Kehidupan amil telah menjelma kehidupan bersama, egoisme seorang amil telah runtuh seiring pemihakannya pada para dhuafa.
Keempat, Keikatan diri (self commitment), terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan yang di tetapkan. Makna komitmen adalah sesuatu yang melampaui segala bentuk perbedaan, perselisihan dan pertengkaran. Ia tidak dapat dihancurkan oleh kekurangan, kelemahan maupun keterbatasan lahiriah. Begitu seseorang berani mengikatkan diri dalam sebuah komitmen, maka ia sesungguhnya telah ‘mati’ terhadap kepentingan diri sendiri, termasuk egoismenya untuk mengejar kepuasan pribadi.
Amil sebagaimana manusia pada umumnya, tatkala memasuki usia baligh (dewasa), tanpa melalui proses yang berliku, ia sampai pada masanya untuk memastikan tak melanggar ajaran Islam yang ia yakini. Karena begitu seorang muslim dewasa, maka seluruh dosa dan kesalahan akan ada konsekunsinya. Ia bukan lagi anak-anak yang bebas dosa dan tak dihitung secara agama.
Nah, dengan sendirinya langsung ada komitmen akan nilai-nilai yang harus dijaga dan dipegang dengan istiqomah. Hidupnya tak lagi bebas sebebas-bebasnya. Ia mulai punya visi dan misi dalam kehidupan ini. Seorang amil pun demikian, ia terikat pada komitmen kuat untuk memperjuangkan nilai-nilai kebaikan yang diajarkan Islam. Seorang amil harus kuat mengikatkan diri pada prinsip-prinsip dan keyakinan untuk membantu memecahkan persoalan keumatan dan bangsa. Ia juga harus memegang teguh kesadaran bahwa ia tak lagi bebas nilai. Amil adalah sosok inspiratif bagi mustahik, dan sekaligus sosok yang dapat dipercaya muzaki. Dengan demikian, ia harus terus menjaga diri untuk tetap berada dalam komitmen amil sejati.
Amil juga harus berkomitmen untuk terus belajar dan mengembangkan dirinya agar terus lebih baik. Ia juga harus terus bersedia meningkatkan wawasan pengetahuan keislamanannya, kompetensi pekerjaannya serta integritas moralnya. Keimanan seorang amil juga jangan sampai menjadi stagnan dan pasif. Amil karena ia adalah sosok inisiator, maka ia harus lebih dinamis dan kreatif.
Kelima, Kegiatan terarah ( directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi, bakat, kemampuan, keterampilan yang positif serta pemanfaatan relasi antarpribadi untuk menunjang tercapainya makna hidup dan tujuan.
Menjadi amil adalah menjadi makhluk sosial. Tak ada ceritanya amil hebat sendirian. Begitu pula para amil yang ingin mencari kebahagiaan hidup sebagai seorang amil. Ia harus mengikatkan diri pada komunitas amil yang ada. Ia harus belajar menahan diri bahwa amil hidupnya bukan hanya untuk memcari kepuasan diri dengan pemenuhan kebutuhan jasmani saja. Ada kebahagiaan yang para amil temukan dalam jatidiri atau passion mereka di dunia aktivitasnya. Para amil tak sekedar mengerjakan hal yang paling di sukai dalam hidup. Mereka semua, sejatinya mengerjakan hal yang lebih besar dari diri mereka. Para amil punya tugas untuk memberi dan menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan orang lain, dan dari kebersamaan seperti itu, ia akan menemukan arti kebahagiaan seutuhnya.
Keenam, Dukungan sosial (social support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu pada saat-saat diperlukan. Amil tak biasa bekerja sendirian. Ia cenderung kolektif dalam bekerja dan memecahkan beragam masalah yang ada. Para amil biasa bekerja dengan istilah “amal jama’i”, yakni “amal kebajikan yang dikerjakan oleh secara bersama, demi mencapai tujuan kebaikan”. Sifat amal jama’i itu sendiri merupakan amal shalih, yang ditunaikan secara bersama-sama, demi mencapai tujuan kebaikan.
Selama ini beragam kerjasama dan kolaborasi lembaga-lembaga zakat telah dilakukan dengan baik. Berbagai aktivitas pendidikan, kesehatan, dakwah, ekonomi, bahkan juga penanganan bencana telah dipraktikan dengan sangat baik. Aktivitas kolaborasi ini selain untuk menggapai pahala, juga untuk mempermudah dan meringankan beban yang ada. Kolaborasi lain misalnya dalam menyalurkan bantuan untuk korban bencana maupun penanggulangan kemiskinan menjadi bukti bahwa ada dukungan sosial yang didapatkan gerakan zakat.
Kembali ke soal Meaningful Amil, nyatalah bahwa dalam kehidupan, kesenangan ada batasnya dan bersifat sementara. Dan kepuasan hidup yang diburu dan dikejar-kejar itu pun tak ada habis nya. Amil sebagai manusia yag lebih banyak tugas dan tanggungjawabnya dari manusia lainnya, harus mampu memiliki derajat yang lebih tinggi. Ia harus rela hidup bukan layaknya manusia lainnya, apalagi memiliki kehidupan seperti binatang. Amil pula harus rela mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan yang lebih besar dari diri mereka.
Kini, semuanya kembali kepada kita masing-masing. Mau jadi amil apa adanya, yang hidupnya masih mengejar kesenangan dan kepuasan personal atau mau jadi amil sejati? Yang hidupnya sudah digadaikan untuk terus naik levelnya, menjadi manusia yang meaningful bagi kehidupan wong cilik dan dhuafa.