Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Pada saat gerakan zakat Indonesia tumbuh dengan semangat bahu-membahu, dengan spirit kegotongroyongan membangun izzah dan kehormatan, langkah-langkah peningkatan dan perbaikan sangat diperlukan.

Adanya istilah “ilegal” bukan hanya menyulut kekagetan tapi juga merefleksikan tidak adanya semangat yang sama dalam memajukan gerakan zakat Indonesia. Para aktivis dan penggerak zakat di Indonesia tak sedikit pun terpikir untuk menyalahi, apatah lagi melakukan aktivitas yang tak sesuai dengan regulasi.

Idealnya, bila sama-sama ingin memajukan dan menjaga marwah gerakan zakat, maka selalu dibuka ruang untuk berbicara dan berkomunikasi untuk mencari yang terbaik bagi gerakan zakat Indonesia.

Sejatinya, perasaan amil yang dihargai, apalagi dibantu dimudahkan dengan dicarikan jalan tengah agar sesuai dengan seluruh aturan yang ada, bukan hanya akan membuat situasinya menjadi sangat kondusif, bahkan apa pun yang dimintakan ke para penggerak dan aktivis zakat serta organisasinya pastilah mereka berikan.

Secara umum, jiwa para amil dan aktivis zakat itu pemurah. Bisa jadi bukan orang kaya secara personal tapi, melalui lembaganya, mereka bekerja siang malam untuk membantu sesama insan yang membutuhkan; bila perlu, mereka juga tak segan berkorban harta dan mungkin juga jiwa. Inilah sebenarnya yang perlu dijaga ketika masuk dan menjadi bagian gerakan zakat Indonesia.

Menjaga izzah dan marwah lembaga ini penting, termasuk menjaga harga diri para amil, aktivis dan penggerak zakat Indonesia. Ingatlah, zakat bukan industri biasa. Bahkan, sebagian amil tak mau zakat disebut sebagai industri. Saat yang sama, zakat dan para pengelolanya juga sesungguhnya begitu merdeka jiwanya. Kalau sudah urusan panggilan nurani untuk membantu sesama, mereka akan bergerak kapan pun dan dalam kondisi bagaimana pun.