fbpx

Blog

Amil Jangan Dianggap Profesi Pengisi Waktu Luang

WhatsApp-Image-2019-04-05-at-155158-1688353116-1419652031
Opini

Amil Jangan Dianggap Profesi Pengisi Waktu Luang

Spread the love

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi, Associate Expert FOZ)

Bila menjadi amil zakat dapat dianggap sebagai sebuah pekerjaan, tentu saja seseorang yang bekerja di dalamnya harus bekerja secara sungguh-sungguh. Lain halnya bila amil zakat ini sekadar pengabdian atau pengisi waktu luang, tak ada tuntutan apa pun di dalamnya. Karena sambilan, seseorang yang menjadi amil bisa kapan saja bekerjanya sesuai ketersediaan waktu yang ada. Menjadi sebenar-benarnya amil ternyata urusannya tak sesederhana pekerjaan yang lain, bahkan yang bergaji tinggi sekalipun. Ketika seseorang memutuskan untu bekerja sebagai amil, profesi ini bukan semata-mata “menagih” lama waktu yang harus dihabiskan ketika beraktivitas. Amil tak melulu harus menyediakan waktu yang lama saat bekerja. Namun, ada yang lebih penting dari sekadar durasi waktu, yakni pekerjaan sebagai memerlukan totalitas.

Kata “totalitas” menurut KBBI dapat berarti keutuhan atau keseluruhan. Utuh dalam konteks kerja sebagai amil dimaknai “tidak setengah-setengah” atau “tidak tanggung-tanggung”. Jika ketika bekerja sebagai amil ingin mendapatkan yang terbaik, lakukan semua dengan kemampuan yang terbaik. Kita mungkin pernah mendengar pepatah: “Jangan lakukan setengah-setengah jika tidak ingin mendapatkan hasil setengah.”

Bekerja sebagai amil, sesungguhnya berkait erat dengan aktivis dakwah. Yang dilakukan amil tidak lain mengubah masyarakat yang kurang baik menuju kehidupan yang lebih baik. Para amil disebutkan di atas, merupakan pendakwah tanpa ceramah. Betapa tidak, pekerjaan amil tak hanya soal mengubah pola pikir, sikap dan perilaku masyarakat, namun juga menyasar pada aspek memperbaiki sendi-sendi ekonomi dan sosialnya.

Dalam pekerjaannya sebagai seorang amil, hanya ada satu sikap yaitu totalitas. Lalu bagaimana para amil didorong tampil totalitas? Tak ada keraguan atau kekhawatiran di dalam diri seorang amil. Apalagi sejak awal ia sadar betul bahwa ketika ia memilih menjadi amil, ia harus siap atas semua risiko yang akan dihadapi. Begitu saat pertama menyatakan kesediaan menjadi amil, maka ia harus hidup bersama jalan dakwah sosial ini. Begitu terbetik keraguan, maka segera saja kelemahan harapan akan muncul, apalagi bila kemudian muncul godaan, dilema, dan tantangan dalam pekerjaan amil yang dilakukan.

Leave your thought here

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: