fbpx

Blog

Amil dan Kesetiaan

images-8-1680502359-1710773831
Opini

Amil dan Kesetiaan

Spread the love

Oleh: Nana Sudiana (Direktur Akademizi & Associate Expert FOZ)

“Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu hati di dalam hati dan berjanji untuk tidak akan mengkhianati” – Bacharuddin Jusuf Habibie

Kesetiaan dalam Collins English Dictionary didefinisikan sebagai “pengabdian dan kepatuhan kepada suatu bangsa, tujuan, falsafah, negara, kelompok atau seseorang”. Kesetiaan juga sering dianggap sebagai bukti paling nyata cinta seseorang.

Kesetiaan penting untuk menjaga keberlangsungan kehidupan. Dalam praktiknya, kesetiaan perlu untuk dijaga. Dan menjaga kesetiaan ini bukanlah main-main. Diperlukan usaha yang serius dan terus menerus.

Lalu, bagi amil zakat, apa pentingnya soal kesetiaan ini?. Bukankah selama ini telah terwadahi dalam ikatan kontrak kerja. Atau semacam perjanjian kerja antara amil dengan lembaga zakatnya masing-masing. Tulisan sederhana ini ingin mencoba memotret soal kesetiaan bagi amil dan dampak bagi kelangsungan lembaga zakat yang ada.

Urgensi Kesetiaan

Amil zakat memiliki posisi strategis dalam ekosistem pengelolaan zakat di negeri ini. Semakin para amilnya baik, maka semakin baik pula pengelolaan zakat di negeri ini. Salah satu pilar yang penting dalam perbaikan pengelolaan zakat salah satunya adalah persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) amil.

Selain harus memiliki kompetensi yang memadai, seorang amil zakat juga diharapkan memiliki integritas yang tinggi serta mental yang baik. Saat yang sama, ia juga harus mencintai profesinya sebagi amil yang ia jalani. Ini penting untuk memastikan bahwa seorang amil paripurna sikap, keterampilan serta kemampuannya dalam mengelola urusan teknis maupun non teknis dalam manejerial zakat.

Mencintai pekerjaan sebagai seorang amil, berarti bersedia menanggung segala konsekuensi dan risiko pekerjaan sebagai amil zakat. Konsekuensi ini dalam perwujudannya dapat berarti bersedia menerima segalam macam kondisi lembaga tempat ia bernaung, baik dalam kondisi susah maupun senang. Bersedia memberikan kemampuan dan dedikasi terbaik-nya pada lembaga tidak cukup diucapkan, namun perlu dibuktikan.

Bukti sederhana seorang amil mencintai pekerjaan-nya adalah ia bersedia setia dalam bekerja walau mungkin secara penghasilan belum memadai dan sesuai ekspektasi dirinya. Kenapa tuntutan kesetiaan ini penting? Karena seorang amil harus menyadari bahwa besar kecilnya gaji atau penghasilan amil, berbanding lurus dengan kemampuan lembaga menerima Amanah (berupa penghimpunan ZIS) dari masayarakat. Semakin lembaga-nya mampu dipercaya masyarakat, maka semakin meningkat pendapatan amil yang akan diambilkan dari prosentase hak amil yang ada pada lembaga tersebut.

Jadi kalau seorang amil tiba-tiba ingin bergaji besar, sementara lembaga-nya baru awal berdiri dan belum banyak memperoleh penghimpunan dari masayarakat, maka ia harus bersedia bersabar dan terus meningkatkan kerja kerasnya, juga meningkatkan kreativitas dalam mengelola lembaga-nya. Tak bisa tiba-tiba sebuah lembaga baru lalu memiliki volume penghimpunan seperti lembaga lainnya yang sudah terlebuh dahulu muncul dalam pengelolaan zakat.

Nah, untuk itulah, bagi amil, selain soal pintar dan mampu, juga ber-etika baik, ia diapstikan harus setia. Dan tentu saja, untuk mengetahui setia tidaknya seorang amil, ia perlu pengujian dan pembuktian langsung. Pengujian dan pembuktian ini tidak bisa instan, ia harus melewati waktu yang cukup serta melewati berbagai macam moment yang berbeda-beda agar terlihat seberapa seorang amil zakat tersebut dikatakan seorang amil yang setia.

Mengapa kesetiaan penting? Dan apa dampaknya bagi sebuah Lembaga pengelola zakat?. Kesetiaan sebagaimana kita tahu, melibatkan antara dua pihak, yaitu amil dan lembaga pengelola zakat. Agar hubungan keduanya harmonis dan bisa menghasilkan sinergi yang baik, diperlukan saling pengertian, kesediaan berkorban dan rasa memiliki yang tinggi. Juga tingkat pembelaan serta kesadaran untuk memberikan yang terbaik dalam diri seorang amil bagi keberhasilan lembaga zakat-nya.

Dunia amil zakat ini kan secara industri belum benar-benar mapan sistem-nya. Walau sudah ada standar kerja dari Kemenaker berupa SKKNI yang didukung KKNI sebagai aturan jabatan dan kompetensi seorang amil, di dalam “industri pengelolaan zakat” masih terdapat cukup gap dalam pengelolaan-nya. Bukan semata soal kompetensi yang belum merata, juga bukan soal renumerasi yang memang berbeda-beda. Namun yang lebih penting, masih banyak PR bagi perbaikan tata Kelola zakat di negeri ini.

Dengan banyak-nya celah yang ada, dunia zakat ini sebenarnya masih rawan. Ada banyak kelemahan yang saat ini dengan mudah dilihat oleh banyak pihak. Ini pula barangkali penyebab masih tingginya turn over SDM di sejumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Adaptasi teknologi memang penting bagi lembaga zakat, namun tak kalah penting adalah ketersediaan SDM yang akan menjalankan roda organiasasi sebuah OPZ. Tak mungkin kita akan taruh harapan besar bagi perbaikan pengelolaan zakat kalau SDM-nya begitu cepat berganti.

Membangun Keseimbangan; Kesetiaan Vs Penghargaan

Amil zakat adalah tugas mulia. Bila diemban dengan benar seorang amil bagaikan seorang pejuang (mujahid). Dalam sebuah hadits, Rasulullah Muhammad SAW bersabda (yang artinya) : “Seorang amil ZIS yang benar (jujur) itu setara dengan seorang pejuang perang/mujahid di jalan Allah sampai kembali ke rumahnya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim).

Selain sebagai Mujahid, amil zakat juga bisa disebut da’i (orang yang berdakwah). Hal ini karena seorang amil zakat memang bertugas untuk mengajak umat agar mau menunaikan zakat. Dan zakat sendiri sejatinya gabungan dua dimensi yakni sebagai bagian dari Ibadah yang berdimensi vertikal ( hablumminallah) dan juga berdimensi horizontal (hablumminannaas). Jelas saja, mengajak seorang muslim melakukan ibadah zakat tentu saja tak mudah.

Dan Allah memberikan posisi yang baik bagi seorang juru dakwah (da’i) dalam Islam. Allah berfirman: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fusshilat : 33)

Dengan tugas yang mulia, bahkan dikatakan selevel mujahid, serta mandat sebagai da’i dalam urusan zakat, lalu tiba-tiba kenapa seorang amil masih harus setia?. Apalagi ini? apa yang kurang dari seorang amil zakat?.

Kesetiaan, sifatnya tidak laten. Bisa berubah-ubah mengikuti kondisi dan moment, juga dipengaruhi hubungan antar sejumlah pihak. Karena itu, sangat wajar dalam perjalanan waktu, seorang amil berkurang, bahkan terkikis dan hilang kesetiaan-nya. Kesetiaan manusia tak bisa dipisahkan dengan suasana hati. Dan hal ini terjadi karena adanya pengaruh sejumlah peristiwa atau moment yang terjadi.

Kesetiaan mungkin awalnya tulus, hadir mengalir seiring waktu. Namun, bisa jadi bertahun-tahun setia, seorang amil tiba-tiba terleaps dan memilih tidak settia. Apakah mesti amilnya yang pasti salah? Belum tentu? Bisa jadi lembaga juga punya kontribusi seorang amil menjadi sakit hati dan kemudian pergi.

Kesetiaan kan soal relasi. Bisa jadi karena kurang disadari, sebuah lembaga tak sengaja menciptakan jurang pemisah seorang amil dengan lembaganya. Ada banyak kejadian, orang-orang setia, yang sebelumnya berkorban dengan tinggi dan tanpa mengindahkan kepentingan pribadinya dalam mengabdi pada lembaga, tiba-tiba ia menjadi pemberontak yang nyata.

Ia melakukan perlawanan bak “pendendam” yang bahkan memilih “membakar ladang” agar tak satupun tersisa kebaikan untuk semua. Bagi dirinya maupun lembaganya. Ini terjadi salah satunya dipicu karena adanya ketidakadilan yang dilakukan. Juga adanya ketidakmampuan sebuah pihak menghargai pihak lainnya dengan baik. Bertahun-tahun seseoaang setia, lantas teraniaya, bisa jadi sebelumnya ia coba kompromi untuk berdamai dengan keadaan yang ia rasakan. Dan bertahun tahun pula, ketika ia merasakan tidak ada perbaikan, jangan salahkan bila ia memilih bak “joker” di dalam cerita Marvel. Jadi orang jahat, pendendam dan lupa dengan jalan kebaikan yang telah ia jalani sebelumnya.

Kesetiaan yang bertepuk sebelah tangan, tak dihargai dan diberikan apresiasi akan menyulut pemberontakan. Ia akan membakar apapun yang selama ini telah ditumbuhkan di ladang kebaikan. Di situlah pentingnya keseimbangan. Untuk menghargai setiap pihak yang setia dengan apresiasi dan pengakuan yang seimbang.

Tak pantas salah satu pihak meminta seseorang bersetia, sementara tak ada perhatian yang baik, juga pengakuan dan penghargaan. Juga, jangan pernah menanggap bahwa kesetiaan ini pasti tak berubah. Kesetiaan bak air mengalir, ia akan selalu mengalir, walau kadang begitu ia menemukan penghalang, ia akan berbelok dan membangun alur lain untuk menuju hilir.

Meminta seseorang atau suatu pihak setia, bukan semata soal penunaian kewajiban. Namun ada keseimbangan yang harus dibangun agar pengorbanan selalu beriring dengan penghargaan. Agar perjuangan bisa selaras dengan apresiasi untuk membangun prestasi.

Jangan jadikan alasan karena ketidakmampuan Lembaga menjadi alat untuk meng-eksploitasi para amil. Meminta mereka setia, berkorban dan bersedia hidup seadanya, namun tak ada kata, ucapan atau penghargaan nyata yang diberikan. Ada banyak cara memberikan apresiasi bisa dilakukan. Salah satunya yang sederhana adalah, dengan mendengar, menyapa dan menerima berbagai saran, masukan juga keluhan mereka.

Para amil masih manusia, ia bukan robot tanpa hati dan jiwa. Para amil juga sebenarnya yang jadi pimpinan mereka. Aneh kalau sesama amil ternyata membangun “benteng kokoh”, tak saling sapa, tak saling berbagi dan peduli.

Amil masih manusia, ia punya rasa dan juga punya kehendak berupa keinginan hidup lebih baik, lebih merdeka dan menjunjung tinggi sisi kemanusiaan-nya. Bagi lembaga yang ingin baik dan terus ingin memperbaiki organisasinya, bicarakan apapun dengan para amil masing-masing. Di saat senang maupun susah. Di saat lapang maupun tak mudah.

Amil masih manusia, ia butuh disapa sebagai manusia. Diberikan jiwanya rasa cinta yang baik agar rasa percaya-nya mekar dan mengembang menjadi spirit pengabdian yang terbaik.

Wallahu’alam bishowwab.

Ditulis di pinggir Timur Jakarta, menjelang Subuh, Senin, 3 April 2023

Leave your thought here

Your email address will not be published. Required fields are marked *

%d bloggers like this: